-HELPING SOUL- by Joe Sinuraya

(Sebuah Catatan Refleksi Pertemuan Bulanan Magis Formasi 2016)

PROLOG
Jakarta, 20 Mei 2017

Waktu berlalu sedemikian cepatnya ketika saya coba mengingat kapan terakhir kali saya menuliskan catatan refleksi pertemuan bulanan maGis. Pikiran saya menerawang mencoba mengingatnya, mungkin sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu seingat saya. Pagi ini, ketika saya terbangun dari tidur, entah dari mana ada sebuah rasa “gatal” untuk kembali menuliskan perasaan saya dalam pertemuan bulanan maGis kedalam sebuah catatan refleksi yang baru. Ada sebuah kerinduan untuk mengungkapkan perasaan saya dan membagikan tulisan ini kepada mereka. Bagi saya yang memiliki kecenderungan sebagai seorang introvert, mengungkapkan perasaan melalui kata-kata akan jauh lebih menyulitkan jika dibandingkan dengan mengungkapkannya melalui sebuah tulisan. Tulisan lebih memberikan kesempatan dan kebebasan untuk menginterpretasikan setiap hal yang tertulis sesuai dengan beragam emosi yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, tulisan lebih bersifat “abadi” dibandingkan dengan kata-kata. Kata yang terucap akan lebih cepat dilupakan dibandingkan tulisan yang akan lebih sering dikenang. Maka ritual pertama yang saya lakukan adalah dengan meminta izin kepada circle saya (a.k.a ROTI), agar saya diperbolehkan untuk menuliskan pengalaman pribadi saya dan dikirimkan kepada pengurus maGis. Memang tidak ada aturan baku didalam circle kami mengenai siapa yang harus menuliskan catatan refleksi pertemuan bulanan, setiap dari kami diperbolehkan untuk menuliskan dan menyampaikan perasaan masing-masing. Namun akan lebih baik jika kemudian saya meminta izin dari mereka terlebih dahulu atas keinginan saya tersebut, karena bagaimanapun saya akan membawa nama ROTI dalam refleksi ini. Setelah memberitahu mereka, disinilah saya pagi ini ditemani 1 piring kue cubit dan segelas teh manis hangat, mencoba mengingat kembali setiap perasaan yang muncul saat itu dan menuliskannya kedalam rangkaian kata-kata.

Minggu, Jakarta, 14 Mei 2017
TAKUT DAN MALAS…

Itulah dua perasaan pertama yang saya rasakan ketika saya sadar bahwa hari minggu ini saya harus datang dan mengikuti pertemuan bulanan maGis. Entah mengapa belakangan ini dua perasaan ini yang begitu dominan menguasai saya ketika saya harus mengikuti pertemuan bulanan maGis. Sejak selesai kegiatan live in di Bulak Cabe, dimana normalnya setiap orang jauh lebih bersemangat dalam mengikuti pertemuan bulanan maGis, saya justru mengalami hal yang sebaliknya. Saya justru mengalami “kekeringan rohani” yang sedemikian hebatnya. Alasan yang kemudian saya ketahui dari munculnya perasaan ini adalah karena saya merasa bahwa saya tidak tumbuh secara rohani seperti rekan-rekan yang lain. Ketika saya melihat rekan-rekan yang lain dengan pengalamannya di maGis, saya tidak merasa pertumbuhan saya se signifikan mereka, ini bahkan terasa begitu lambat. Ini membuat saya kemudian merasa tidak yakin untuk terus melanjutkan perjalanan saya di maGis. Terlebih pada pertemuan bulanan pertama setelah live in, ada satu sesi di akhir pertemuan tentang restarted maGis. Di titik ini saya merasa mungkin ini waktu yang tepat untuk menyelesaikan perjalanan saya di komunitas ini. Saya sempat juga menanyakan masalah ini kepada animator saya, namun dia bilang kepada saya untuk coba memahami perasaan yang sedang bergejolak tersebut, mungkin Roh Kudus sedang bekerja didalamnya. Jadi selama sebulan terakhir sebelum pertemuan ini, saya terus menanyakan kepada diri saya sendiri dan kepada Tuhan mengenai kepantasan saya untuk berada didalam komunitas ini. Saya bergulat dengan perasaan itu sampai saat saya boleh mengetahui jawabannya. Akhirnya dengan tetap didominasi oleh kedua perasaan itu, saya memutuskan untuk datang ke pertemuan bulanan maGis. Satu-satunya alasan saya datang ke pertemuan bulanan maGis adalah karena saya masih menghargai kepercayaan yang diberikan oleh para pengurus waktu menerima saya masuk kedalam komunitas ini, termasuk didalamnya kakak saya. Saya menghargai setiap kepercayaan yang diberikan kepada saya. Tanpa itu, maka saya sangat yakin bahwa saya akan meninggalkan pertemuan bulanan di hari itu.
Jakarta pagi itu begitu cerah cenderung panas, seingat saya sudah beberapa hari kota ini tidak dibasahi oleh hujan. Baguslah, karena jika hujan akan bertambah lagi alasan saya untuk tidak datang di pertemuan bulanan hari itu. Pertemuan bulanan ini dilakukan di markas besar maGis di CC. Semakin lama, saya semakin terbiasa bertandang ke tempat ini. Berbanding terbalik waktu pertama kali datang ke tempat ini, dimana saya merasa begitu asing. Tempat ini, saat ini sudah jauh begitu berubah disaat saya pertama kali datang ke tempat ini hampir setahun yang lalu. Saya datang hanya sesaat sebelum acara dimulai. Baru beberapa dari kami yang datang pagi itu. Pertemuan kami hari ini dipandu oleh circle Octacles kalau saya tidak salah. Berbeda dari pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini sebelum kami memulai acara, kami diajak untuk menyanyikan lagu-lagu kebangsaan terlebih dahulu, mulai dari Indonesia Raya, Rayuan Pulau Kelapa, dll. Sebuah dinamika diluar kewajaran kami selama ini, bukan hal yang buruk sama sekali, menyegarkan malah. Ini justru mengingatkan saya akan rasa kebangsaan yang saat ini sudah mulai luntur, perasaan yang saat ini sudah saya lupakan. Entah kapan terakhir kali saya menyanyikan lagu-lagu kebangsaan seperti ini? Kapan terakhir kali saya benar-benar menyadari bahwa saya lahir, merangkak, berjalan, berdiri, jatuh dan bangkit di negara ini? Menyanyikan lagu kebangsaan mengingatkan saya betapa berharganya negara ini, yang begitu sayang jika harus dikorbankan akibat kepentingan beberapa golongan saja. Negara yang seharusnya tidak hanya kita ingat namanya saja, melainkan harus kita nyalakan terus sinarnya dari gelap dan hitamnya hati sebagian insannya.
Pertemuan bulanan kali ini hanya Abang Wens yang berhalangan hadir untuk datang. Sisanya dari kami kompak datang. Saya sudah belajar menerima setiap hal yang tidak sesuai dengan keinginan saya, termasuk didalamnya ketika ada yang dari kami tidak dapat hadir dalam pertemuan bulanan. Saya belajar bahwa tidak selamanya kehendak kita yang selalu dikabulkan oleh Tuhan, terkadang Dia ingin kita belajar memahami rencana-Nya juga. Toh dengan ketidakhadiran bang Wens kami belajar menabung kerinduan, sehingga ketika kami bertemu akan ada lebih banyak cerita untuk dibagikan, akan ada banyak kerinduan untuk dilepaskan, dan akan ada lebih banyak tawa diantara kami.

HELPING SOUL…

Ini adalah tema besar yang diangkat pada pertemuan bulanan hari ini. Helping soul atau dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah menolong jiwa-jiwa. Tema ini dibawakan oleh pembicara dari pengurus maGis, Bella kalau tidak salah nama pembicaranya. Saya sendiri tidak terlalu mengikuti materi yang disampaikan, namun di pertemuan kali ini ada hal yang menarik dimana kami harus me-review sebuah film dari sudut pandang maGis. Jujur saya sangat menyukai hal ini. Bagaimana kami diajarkan untuk menemukan Tuhan bahkan melalui sebuah film. Melalui sebuah media yang begitu duniawi kami diajak untuk menemukan Tuhan. Ada satu dialog dalam pembukaan film itu yang begitu mengena dalam pikiran saya, sehingga saya merasa harus mencatatnya dalam jurnal pribadi saya, begini bunyi dialognya:

“Kalian belum pernah mendengar? Tuhan itu kekal, Ia pencipta bumi. Dia tidak akan bosan atau lelah. PemahamanNya tidak akan ada yang bisa mengikutinya. Dia memberikan kekuatan kepada yang lemah dan meningkatkannya. Meskipun kau menjadi lelah, capai, dan terjatuh tetapi mereka yang berharap kepada Tuhan akan diperbaharui kekuatannya. Ia membentangkan sayap kita seperti elang, agar kita dapat terbang dan tidak lelah. Mereka akan berjalan dan tidak takut.” –Hacksaw Ridge-

Setelah mendapatkan materi tentang helping soul maka selanjutnya kami dibagi berdasarkan cirlce kami masing-masing. Saya pribadi merasa bahwa justru dalam setiap pertemuan bulanan “main course” sebenarnya adalah circle kecil. Ada rasa senang dalam diri saya ketika ROTI dapat berkumpul bersama. Walau saya sendiri masih saja begitu kesulitan untuk berbagi cerita dengan mereka, namun bisa berada dan diterima bersama mereka saja sudah membuat saya merasa “lebih”. Dalam diskusi kami saat itu, saya sadar bahwa helping soul ternyata tidak harus dilakukan dalam hal-hal yang begitu sulit, dalam hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Terkadang helping soul justru dapat dilakukan dari hal-hal yang begitu sederhana terhadap mereka yang paling dekat dengan kita, yaitu keluarga dan komunitas terdekat kita. Terkadang saya, dan juga kita, mungkin begitu sibuk untuk membantu orang-orang diluar sana, namun kita malah melupakan dan mengabaikan keluarga dan orang-orang disekitar saya yang ternyata juga membutuhkan pertolongan dari diri saya. Bagi saya helping soul berarti berani mencintai sesama kita, dan berani mencintai berarti berani memberikan diri kita sendiri seutuhnya tanpa mengharapkan balasan apapun seperti apa yang Bapa Paus katakan diakhir tulisan refleksi ini. Namun, disisi lain hal ini pun masih menjadi suatu kesulitan bagi saya untuk dilakukan, seringkali ada banyak-banyak pertimbangan yang kemudian menyulitkan dan menghambat saya dalam menolong sesama. Diakhir hari itu, kami mendapatkan tugas untuk meng-implementasikan helping soul. Saya sendiri tidak tahu apa yang akan saya lakukan sepanjang 1 bulan yang akan datang, menolong sesama saya. Pikiran saya belum dapat menggambarkannya, namun yang saya tahu pada hari itu bahwa Tuhan juga bekerja menolong jiwa saya, namun cara yang Ia lakukan terkadang jauh melebihi pemahaman dan pengertian manusia. Hari ini, matahari terbit di tempat ini semakin tinggi, saatnya saya menyudahi tulisan-tulisan dalam catatan refleksi ini. Tulisan yang mungkin beberapa waktu mendatang akan saya rindukan untuk melakukannya lagi.

“Love is more than a mere feeling. To love means to do good. In this way we can experience the happiness of giving, the grandeur of offering ourselves without measure, without expecting to be repaid”.
-Pope Francis-



Johanes Kurniawan Sinuraya

Seorang penikmat musik dan fotografi yang bekerja sebagai internal audit di salah satu perusahaan asing di Jakarta. Alasan mengikuti Magis karena “dijerumuskan” masuk oleh kakak yg sesama alumni Magis. Bagi saya berproses di formasi Magis 2016 bukan membuat hidup menjadi lebih suci dan benar tapi justru menjadi lebih kusut dan memusingkan. Tapi saya bersyukur karena dapat menjalani setiap dinamikanya bersama Sang Putra.

 


Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *