Tuhan adalah Penopangku

“Act as if everything depended on you; trust as if everything depended on God.”
― Ignatius of Loyola –

Sebuah Awal

Bukan keputusan yang mudah untuk yakin mengikuti peregrinasi ini. Keinginan untuk ikut sudah kurasakan timbul dalam hati tahun 2013 silam, namun setelah menimbang beberapa hal, akhirnya aku mengurungkan niat untuk ikut peregrinasi waktu itu. Tahun inilah saatnya! Februari 2017, menjadi momen yang tak terbayangkan sebelumnya. Rasa takut sungguh kurasakan dominan menyelimuti batinku, takut merepotkan teman sekelompok jika dalam perjalanan fisik ku tidak kuat, takut ditolak saat meminta makan (juga tempat bermalam), hingga takut akan ketidakpastian yang akan ku alami. Lebih dari itu semua, seolah dalam bawah sadarku, aku ragu akan rahmat Tuhan sendiri. Aku pasrahkan seluruhnya pada Tuhan, Dialah yang akan membawaku sampai ke tempat tujuan dan membawaku semakin dekat dengan-Nya. Mba Sita, Maria dan Mas Sugi inilah teman-teman Magis Yogya yang akan berproses bersamaku selama 3 hari 2 malam.

Kami memulai peziarahan ini dari Candi Prambanan. Tujuan akhir peregrinasi kami adalah Goa Maria Pereng, Salatiga. Berjalan kaki menyusuri rute kurang lebih 60-70 km dan sama sekali tidak ku ketahui jalurnya membuat ku di awal agak sedikit gamang. Di sisi lain, aku masih teringat jelas bahwa bagi St. Ignasius, tidak ada kata “setengah-setengah” dalam hidupnya. Aku berusaha untuk menjadikan itu pegangan selama menjalani peregrinasi ini. Aku sungguh ingin menjalani perjalanan ini dengan melepaskan segala kekhawatiran yang ada dan berusaha membuka diri untuk mengalami kehadiran-Nya dalam bentuk apapun di sana.

Perjumpaan yang Mengubah
Perjalanan hari pertama kami mulai dari Candi Prambanan. Semangat kami sungguh berkobar-kobar. Pada awalnya, kami berkomitmen untuk tetap menjaga keheningan (silentium), seraya merenungkan-membayangkan pengorbanan Yesus yang begitu besar bagi hidupku. Tentu penderitaan-Nya tidak sebanding dengan pengalaman peregrinasiku ini, tidak menebeng kendaraan atau malah mencari jalan pintas. Siang hari di Karangnongko kami mencoba meminta makan kepada warga sekitar. Jawaban pertama cukup jelas: kami ditolak! Sesampainya di rumah kedua, muncul pikiran negatif dalam benakku, sambil menatap raut wajah Bu Yanti (pemilik rumah) yang tidak ramah itu, aku agak pesimis, mana mungkin ia memberi kami makan. Tapi ternyata bayanganku meleset, Bu Yanti menyodorkan nasi bungkus untuk kami berempat, isinya masih kuingat jelas, nasi dan sayur tahu buncis. Tuhan…aku merasa digugat, ditegur betapa aku sering kali mudah men-judge seseorang dari tampilan fisik luarnya. Kerap kali dalam hidup, disadari atau tidak, seringkali ada kecenderungan untuk memberi label, prasangka, sikap curiga terhadap orang lain yang baru kujumpai. Entah dari penampilan fisik, pembawaan lahiriah dari seseorang atau juga secara sekilas mengamati gerak-geriknya. Namun ternyata, ada banyak hal yang membuatku dapat sungguh mengenali seseorang lebih dalam. Pengalaman itu membuatku sungguh menyadarkan bagaimana aku sungguh diajak oleh Tuhan sendiri untuk tidak mudah melihat atau mengenali orang dengan sebelah mata.

Belajar untuk Berbagi dan Murah Hati
Senja pun tiba, matahari mulai pudar nyalanya, kami berusaha untuk mencari tempat menginap. Untuk pertama kalinya, kami ditolak oleh empunya rumah, kebetulan karena cukup banyak anak kecil, mereka tidak punya tempat untuk kami semua. Spontan ia mengarahkan kami untuk coba menginap di rumah tetangganya. Setelah menyerahkan KTP kepada Ketua RT dan meminta izin kepada pemilik rumah (yang tinggal di Jakarta), kami akhirnya diperbolehkan untuk menginap semalam. Perjumpaanku dengan Mbah Mini, sungguh memberi inspirasi, beliau sebagai penjaga rumah dengan murah hati menyuguhkan santapan malam dan mempersilakan kami menikmati rambutan. Kalau dipikir-pikir, Aku sungguh belajar apa artinya menjadi murah hati dan ramah pada orang lain, bahkan orang yang membutuhkan, meski tidak dikenal. Meskipun ia orang yang sangat sederhana, bukankah ia justru mampu memberikan dari kekurangannya? Terkadang aku sendiri merasa sulit untuk memberi, selalu ada pikiran pamrih, modus, atau kalkulasi untung rugi. Rasanya amat mudah memberi jika kita sungguh bisa memberi, tapi amat sulit jika memberikan sesuatu dari kekurangan, apalagi bagi yang tidak dikenal.

Esok paginya, kami pun disuguhi sarapan serta bekal minum untuk di perjalanan. Aku merasakan Tuhan sungguh hadir di tengah perjalananku melalui banyak pribadi yang ku jumpai. Terik sinar matahari dan jalan yang entah dimana ujungnya memang terasa melelahkan, meski belum membuatku tumbang dan patah semangat. Selama perjalanan, aku dapat menikmati pemandangan alam, sawah dan gunung yang indah terbentang di sekelilingku. Aku merasa dapat semakin mensyukuri anugerah hidup dari Sang Pencipta sendiri. Aku sungguh takjub dan mengagumi karya-Nya. Kurasa hal ini jugalah yang membuat semangatku kembali membara. Penghiburan ini memberi oase di tengah rasa lelah yang bergejolak.

Ketika hari mulai siang, aku memberanikan diriku untuk coba meminta makan. Ketika sudah berada di depan rumah, aku tidak dapat berkata-kata karena keterbatasanku untuk berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Ada rasa minder, dan terbata-bata, namun teman-teman meyakinkanku bahwa aku dapat melakukannya, meski akhirnya ditolak karena memang pemilik rumah tidak memasak hari itu. Pengalaman ditolak itu membuatku sedih, tapi aku berusaha untuk mencoba lagi. Aku terus berjalan dan menghampiri sebuah warung, meskipun hanya mendapatkan roti untuk makan siang kami kala itu, aku tetap bersyukur ternyata roti pun menjadi sangat nikmat karena dibumbui rasa lapar dan syukur itu sendiri. Sesampainya di Boyolali, aku sungguh bersyukur betapa Tuhan menyediakan segalanya untuk kami, bagaimana tidak! Kami diberi menu istimewa, mulai dari nasi, Indomie rebus, sate usus, kerupuk dan teh hangat bahkan kami diberikan bekal snack dan air minum untuk bekal kami keesokan harinya. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur kepada Nya atas segala penyelenggaraan Ilahi yang diberikan kepadaku selama sehari itu. Melalui wajah banyak orang yang murah hati ini, aku mengalami Tuhan yang hadir.

Mengandalkan Tuhan Dalam Hidup
Hari ke-3 adalah hari terakhir yang kami punya untuk mencapai Goa Maria Pereng, Salatiga. Di awal hari, rasanya agak pesimis karena tiga kali meminta sarapan, tiga kali pula kami ditolak oleh setiap rumah yang kami datangi. Setelah melanjutkan perjalanan sedikit, tiba-tiba seorang pemilik rumah yang sebelumnya kami datangi memberi kami 7 buah pisang yang cukup untuk mengganjal perut. Ahhh… lagi-lagi Tuhan memanjakanku di perjalanan ini. Selalu ada saja peristiwa-peristiwa di luar dugaanku yang selalu menuntunku pada kesadaran bahwa memang Tuhan selalu hadir dalam hidupku lewat sesamaku.

Pengalaman lain yang juga menarik bagiku adalah pengalaman untuk juga tetap mengandalkan Tuhan. Ini kualami bersama teman-teman saat seorang ibu (mengendarai motor) memanggil kami dan ingin memberi uang untuk sarapan. Namun, kami menolak dengan halus karena pisang yang tadi kami dapat sementara ini masih cukup menjadi bekal. Kemudian, aku terkejut bahwa ibu tersebut tiba-tiba menangis dan berkata, “Saya jadi ingat anak saya, kalian tunggu disini ya saya akan belikan nasi bungkus’”. Untuk kesekian kalinya Tuhan mencukupkan segalanya bagiku, tidak berlebih-lebihan. Aku pun menangis dan merasakan dalam-dalam berkat Tuhan yang bertubi-tubi mengalir padaku. Aku teringat sosok ibuku yang selalu memikirkan anak-anaknya. Sungguh aku merindukannya yang kini sudah di surga sana.

Hari mulai larut dan jam menunjukkan pukul 15.00. Kami baru sampai pertengahan Jl. Ampel, kakiku pun mulai sakit, dan mengeluh capek menuju GKJ Ampel. Kebimbangan kurasakan kala itu, apakah kami harus melanjutkan dan menyelesaikan perjalanan kami? Apakah dengan aku melanjutkan perjalananku ini menjadikanku seorang yang sungguh Magis? Apakah hanya sebagai kepuasan dan heroisme belaka jika aku telah sampai Goa Maria dengan memaksakan kondisi yang ada? Kembali teringat akan perkataan Rm John sebelum keberangkatan, Peregrinasi bukanlah hanya sebuah peziarahan menuju Goa Maria dengan berjalan kaki tanpa uang dan alat komunikasi melainkan menemukan kasih dan cinta Tuhan melalui orang-orang yang kami jumpai selama di perjalanan. Kami ber-discernment bersama dan memutuskan untuk kembali ke Wisma karena saat itu pun hujan mulai turun. Ada perasaan sedih karena tidak dapat mencapai Goa Maria Pereng, tetapi discernment mengajarkanku untuk melihat mana yang sesuai dengan kehendak Allah dan aku merasakan kehadiran Tuhan di setiap orang yang jumpai di jalan. Aku sungguh belajar bagaimana mengandalkan Tuhan dalam hidup, bahkan ketika tidak memiliki apapun. Rasanya aku tidak pernah kekurangan, Ia mencukupkan segalanya untukku. Tuhan ingin mengajakku untuk selalu bersyukur meskipun tujuanku tidak sampai karena itu bukanlah sesuatu yang harus dicapai namun hanya sarana untuk mendekatkanku kembali kepadaNya dan bagaimana aku melihat Roh Allah bekerja di dalam proses menuju kepada-Nya. Meski tubuh fisik kami tidak sampai di Goa Maria itu, tapi hati dan kehendak kami untuk berziarah serta menemukan kehendak-Nya selalu menyertai dalam langkah kami.
Perjalanan peregrinasi ini bagiku adalah kesempatan yang berharga untuk mengolah desolasi yang kualami beberapa bulan yang lalu. Aku merasa Tuhan tidak adil padaku dan sempat menyalahkan-Nya dengan keadaanku sekarang. Namun dalam 3 hari peregrinasi, relasiku dengan Tuhan kembali membaik. Aku pun kini bisa berserah dan mengandalkan Tuhan untuk hidupku. Selama 3 hari ini Ia selalu mencukupkan segalanya bahkan memberikan lebih dari apa yang kupinta. Begitu banyak pengalaman dan perasaan yang kurasakan selama perjalanan peregrinasi yang membuatku belajar mengolah gerak batinku secara nyata. Menjadi pengikut-Nya tidaklah mudah tetapi ketika aku berpasrah, aku percaya Tuhan akan selalu menopangku, menghiburku, menguatkan langkahku dengan cara yang unik dan sesuai kehendakNya serta menuntun hidupku untuk selalu memuliakan nama-Nya yang besar.

Refleksi yang kuambil dari perjalanan peregrinasi 3 hari 2 malam ini tidak lain adalah tidak perlu meragukan kasih Tuhan, menyadari betapa hidup sendiri adalah peziarahan, dengan perjalanan yang berliku dan seakan tidak ada ujung aku tetap terus berjalan dan berjuang sampai saatnya menikmati pemandangan yang indah yang diciptakan Tuhan. Meskipun tidak ada sosok dewasa yang mendampingiku saat ini, sebagai pengikut Kristus aku yakin Ia menjadi sosok yang dapat kuandalkan saat ini. Ketika Tuhan mencukupkan segalanya bagiku aku yakin aku tidak akan kekurangan.

“Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksanalah segala rencanamu (Amsal 16:3)”

Diana Silvana
Magis Jakarta 2012

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *