Menerima Kerapuhan

Peregrinasi adalah salah satu dari cita-cita hidup saya, yang harus saya lakukan sebelum usia 30 tahun. Setelah berformasi di Magis Jakarta 2015 dan menyelesaikan eksperimen Live In, entah sepertinya ingin sekali melakukan eksperimen Ignasian yang berbeda, yaitu peregrinasi. Akhirnya pada Februari 2017 saya menjalani peregrinasi saya. Sebenernya saya sendiri diliputi rasa takut dan khawatir selama hampir dua bulan, tetapi rasa itu ditutupi dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu. Berjalan kaki hampir 70 km selama 3 hari 2 malam bersama teman yang baru dikenal merupakan tantangan buat saya. Saya sendiri bukan pencinta alam yang hobi muncak gunung atau olahragawan yang demen ikut marathon kekinian. Persiapan peregrinasi secara fisik saya jalani dengan santai, diet kalo ingat dan jalan santai setiap pagi sejauh 100 meter saja. Persiapan non-fisik saya hanya membaca ulang materi-materi Ignasian, dan membaca buku Paulo Coelho, Pilgrim.

Rute peregrinasi saya adalah rute “horor” menurut beberapa alumni Magis Jogja. Bukan horor yang berhubungan dengan dunia gaib, tetapi kepada jalan yang katanya paling jauh dan medannya yang berat. Rute tersebut adalah Cawas – Tawangsari – Waduk Mulur – Bendosari – Jumapolo – Wukirsawit – Tawangmangu (Gua Maria Sendang Pawitra). Ketika mengetahui bahwa saya mendapatkan “perutusan” itu saya tidak takut, malah tertantang dan dengan langkah tegap keluar wisma mahasiswa untuk memulai peregrinasi.

Teman seperjalan saya kali ini adalah Wahyu dan Onel. Mereka anak muda dengan semangat Magis yang luar biasa. Hampir tak pernah mengeluh lelah dan sakit selama perjalanan. Saya sungguh bersyukur memiliki mereka dalam perjalanan, kami bisa saling berkomunikasi dengan baik, mengatur ritme jalan dengan kompak. Selama perjalanan kami memilih silensium, karena ini efektif menghemat tenaga kami. Pembicaraan hanya untuk menanyakan arah jalan, meminta istirahat, mencari makan, dan penginapan. Saya sebagai teman baru bagi mereka diterima sangat baik, apalagi saya yang lebih banyak meminta istirahat lebih dulu. Komitmen-komitmen yang kami buat dengan teguh dijalankan. Seperti tidak akan membawa bekal makanan di perjalanan, meminta makan hanya satu kali, dan tidak akan menumpang kendaraan.

Dua hari pertama perjalanan tidak terlalu sulit, jalanan pinggir kota dengan medan yang landai. Memang pada hari kedua kami terlalu cepat mengakhiri perjalanan. Pukul 16.30 kami memilih mencari penginapan dikarenakan cuaca yang agak mendung dan jalan di depan memasuki perkebunan tanpa rumah. Kami menginap di sebuah rumah sederhana di Jumapolo. Karena kami terlalu dini beristirahat, maka kami berkomitmen untuk memulai perjalanan esok harinya dengan lebih awal.

Peregrinasi hari ketiga,- yang merupakan hari terakhir yang diberikan panitia- kami memulai berjalan pukul setengah lima subuh, diiringi lantunan suara dari Masjid, kami menapaki jalan-jalan Jumapolo. Sebenarnya Pak Imam, pemilik rumah yang kami tumpangi, menawarkan mengantar kami sampai Pegadaian Jumapolo yang katanya hanya empat kilometer lagi. Komitmen kami membuat kami harus menolak dengan halus kebaikan Pak Imam. Bahkan kami berjalan tanpa sarapan lebih dahulu karena terlalu pagi kami berangkat dan  ternyata Pegadaian Jumapolo tidak sedekat yang kami bayangkan, mungkin sekitar 6-7 km dari rumah Pak Imam.

Memasuki Pegadaian Jumapolo, stamina sudah sangat menurun. Panas matahari pagi sungguh menyiksa jalan saya. mual dan muntah sudah semakin sering saya lakukan. Lantunan doa dan lagu yang selalu saya daraskan sepajang jalan sudah tidak mampu lagi mengalihkan perhatian saya dari rasa sakit di kaki dan mual di perut. Onel yang berjalan paling depan dan memang menjadi koordinator hari itu menawarkan untuk berhenti. Saya memilih tetap berjalan, bukan karena tidak lelah tetapi karena saya merasa waktu yang semakin dekat namun perjalanan masih jauh. Mungkin masih tersisa belasan kilometer di depan. Beberapa menit kemudian saya pun jatuh dengan setengah sadar.  Dengan sigap Wahyu dan Onel membawa saya ke sebuah warung, di sana saya di selonjorkan. Mungkin beberapa menit kemudian baru saya sadar sepenuhnya. Ibu pemilik warung juga memberikan kami roti dan teh manis, sambil menanyakan tujuan kami kemana. Setelah tahu bahwa kami berjalan kaki menuju Tawangmangu, ibu tersebut kaget dan mengatakan itu masih jauh sekali. Semangat yang berkobar membuat kami sepakat tetap memilih melanjutkan perjalanan.

Sambil berjalan tertatih saya melanjutkan perjalanan,  Onel dan Wahyu merasa kalau saya sudah tidak sanggup berjalan. Mereka menawarkan opsi untuk saya menaiki tumpangan sampai ke Goa Maria terlebih dulu. Mereka berjanji akan segera sampai disana juga. Saya tidak langsung menyetujuinya, rasa kecewa terlebih dahulu hinggap di hati saya. Saya dinilai tidak mampu menyelesaikan perjalanan. Rasanya ingin sekali menangis, mengapa saya harus selemah ini. Puluhan kilometer sudah saya lalui, tapi mengapa ketika sudah tinggal belasan kilometer saya tak sanggup.

Sambil berjalan perlahan saya terus memikirkan opsi yang ditawarkan teman-teman. Rasa kecewa dan bersalah saling bersahutan di dalam hati. Saya pasti akan menjadi beban dalam perjalanan ini. Stamina saya membuat ritme jalan kami semakin melambat. Kami bertiga mempunyai harapan untuk sampai di Goa Maria. Saya sendiri akhirnya sadar bahwa stamina semakin menurun dan tidak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Sambil menangis saya harus mengakui kerapuhan dan kelemahan saya. Akhirnya saya memilih keluar dari rombongan, memilih menumpang kendaraan sampai Goa Maria dengan harapan bahwa teman-teman akan menjemput saya di sana. Pukul sepuluh kami berpisah di Jalan Jumapolo menuju Wukirsawit, dengan harapan bahwa lima jam kemudian kami akan bersama lagi.

Setelah perpisahan itu saya menumpang beberapa kali untuk sampai di Goa Maria. Goa Maria Sendang Pawitra terletak di Desa Sepanjang, tempatnya sunyi di kaki Gunung Lawu. Saya sampai kira-kira tengah hari, tak ada pengunjung sama sekali kecuali saya. Di hadapan patung Bunda Maria, saya menangis sejadi-jadinya. Bersyukur akhirnya bisa sampai ke tempat itu walau harus menumpang kendaraan dan menangisi kesombongan yang membuat saya terlalu mengandalkan diri sendiri untuk menyelesaikan peregrinasi. Tekad yang kuat saja tidak cukup, tetapi kerendahan hati menerima Tuhan yang hadir. Kesombongan benar-benar menampar saya pada kerapuhan. Saya yang terbiasa memacu diri melewati segala target kehidupan diajak rendah hati mengadalkan Tuhan.

Peregrinasi adalah sebuah cara Tuhan mengajak keluar dari kelekatan saya akan kesombongan untuk selalu mengadalkan diri sendiri. Bapa yang menciptakan saya pasti lebih tahu apa yang saya butuhkan. Membawa diri sejujur-jujurnya kepada Dia, itulah yang Dia inginkan. Membuat saya berani mengadalkan hidup ke dalam rencana Tuhan.

Risha Lesmana

 

 

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *