Refleksi Dari Bantar Gebang

Kurang dari seminggu sebelum live in, tiba tiba kantor tempat saya bekerja dihebohkan dengan jadwal audit OJK yang dipercepat. Akibatnya seluruh account holder diharapkan tidak meninggalkan kantor, atau jika terpaksa harus cuti sebaiknya tetap dapat dihubungi via telepon atau email. Saya sempat gamang dan takut, haruskah kembali menunda live in karena masalah pekerjaan seperti yang sudah saya lakukan pada formasi tahun lalu? Atau apakah memungkinkan bila membawa hp selama live in? Tapi perkara ini saya simpan di hati dan doakan. Ajaib! 3 hari menjelang live in beberapa problem penting sudah solve bahkan solusi untuk masalah yang belum diharapkan selesai tiba tiba terselesaikan. Tuhan memang bekerja dengan cara yang kadang tidak dapat dimengerti oleh akal manusia.

Dengan mantap saya melangkah menuju Johar Baru tempat pembekalan terakhir kami sebelum diutus ke tempat live in kami masing-masing. Mendapat Bantar Gebang bersama dua teman lainnya Kris dan Yana sedikit mendebarkan di awal. Tempat ini menjadi list penolakan jasmani saya karena banyak hal yang membuat saya menutup diri terhadapnya. But the show must go on! Batin saya justru ini moment paling tepat melumpuhkan rasa takut saya terhadap ketakutan itu sendiri. Pasti sulit dan memang tidak mudah ketika saya mendapati tempat kami akan tinggal begitu sangat memprihatinkan. Namanya saja tempat pembuangan sampah terakhir, tentu bisa dibayangkan aroma semerbak campuran sampah yang berbaur bau busuk dan menyengat, ribuan lalat yang bertebangan dan hinggap kian kemari, belum lagi fisik pemukiman kumuh disekitar kami yang hanya terbuat dari triplek bekas ditutup kain bekas spanduk yang sewaktu-waktu bisa roboh kalau tertiup angin kencang.

Adalah keluarga Bapak dan Ibu Denin yang menjadi induk semang kami merupakan salah satu dari beberapa bos pemulung yang berdiam di Bantar Gebang. Keluarga asal Indramayu ini sudah memulung lebih dari 25 tahun, membina keluarga hingga beranak cucu disini. Saya sempat terpana melihat pemandangan ini hingga muncul dorongan penolakan dari hati kecil saya. Namun tema “Duc In Altum” mengingatkan saya pentingnya arti bertolaklah ke tempat yang lebih dalam, alami, dan lakukan sehingga bisa lebih mendalami makna perziarahan kami. Hingga akhirnya kami turun ke gunungan sampah, saya tiba tiba semakin mengerti pentingnya arti bersyukur dalam kehidupan ini. Setiap pagi saya bangun di kasur yang empuk, sarapan pagi dengan enak dan nyaman sementara teman-teman disini sudah berjuang diantara gundukan sampah segar penuh tikus besar dan belatung. Tak jarang saya mual dan tidak bisa menahan diri dengan aroma dan pemandangan yang begitu sangat menyedihkan terlebih ketika ada seorang nenek tua yang tiba-tiba saja mendapatkan buah apel diantara sampah makanan yang baru saja diturunkan oleh truk. Saat beliau memakan apel tersebut tiba-tiba gambaran mengenai diri saya yang tidak jarang membuang sisa makanan yang tidak habis.

Saya langsung tersadar akan begitu banyak berkat yang sia-sia hingga saya sempat menangis. Menangisi diri saya sekaligus mengagumi kebesaran Tuhan akan orang orang di sekitar saya. Hidup dikelilingi gunungan sampah tak membuat mereka terkapar tidak berdaya atau sakit berkepanjangan yang tidak bisa disembuhkan. Mereka justru tumbuh menjadi komunitas pekerja yang aktif, berjuang keras bahkan tidak tampak ada masyarakat yang bermalas-malasan. Kembali saya berkaca pada diri saya sendiri yang bahkan dalam situasi kerja yang nyaman tanpa bau sampah pun saya sering menunda pekerjaan hingga pemeliharaan terhadap rasa malas yang berulang-ulang.

Sungguh mahakuasa Tuhan menjadikan apa yang kita anggap tidak berguna justru adalah kehidupan bagi saudara kita Bantar Gebang. Saya terpana melihat perjuangan teman-teman pemulung yang bahkan dalam keterbatasan hidup di antara tumpukan sampah dan belatung, mereka masih memiliki kekuatan untuk mengundang kehadiran Tuhan lewat kasih dan perhatian yang tulus kepada orang asing seperti kami. Kita tentu sering merasakan kehadiran Tuhan untuk apapun yang kita kerjakan sehari-hari, namun apakah kita mau untuk selalu bertolak ke tempat yang lebih dalam dan memahami makna kehadiran dan kehendak Tuhan dalam hidup kita?

C. Pitta Tamba

Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *