Kutemukan Tuhan Dalam Perjalananku
Um mundo criado sem fronteiras, para ser mais
Povos cores ebandeiras, sinal de paz
O mundo sonhado sembarreiras, por gente que traz
Beleza, poesia, esperanca, alegria
(Menciptakan dunia tanpa batas, untuk menjadi lebih
Masyarakat aneka warna dan bendera, tanda perdamaian
Memimpikan dunia tanpa hambatan bagi orang-orang yang membawa
keindahan, puisi, harapan, kegembiraan)
Tepat hari Selasa, tanggal 9 Juli 2013, kami dari kelompok Magis Indonesia berangkat menuju Brazil untuk mengikuti kegiatan Magis dan WYD Brasil 2013 ini. Dengan jumlah 8 orang kami tergabung dari delegasi Indonesia berangkat menuju Sao Paulo. Setelah menempuh kurang lebih 28 jam perjalanan, kami sampai di Brasil waktu Brasil tanggal 10 Juli jam 5 sore. Perbedaan waktu antara Brasil dan Indonesia adalah 10 jam (waktu Indonesia lebih cepat 10 jam).
Sesampainya di Sao Paulo, kami menginap semalam di kediaman romo-romo SVD, yaitu Esprito Santo. Baik romo maupun suster di sana menyambut kami dengan hidangan Brasil dipadukan dengan ramuan Indonesia. Keramah-tamahan di sana membuat kami merasa nyaman dan serasa kembali bersama keluarga.
Sore harinya kami menuju Salvador untuk mempersiapkan Pembukaan Magis. Pembukaan diadakan dengan lagu-lagu pengiring yang memukau terutama Hymne Magis 2013 dengan petikan “Eu peregrino que so, em companhia sempre estou, Eu peregrino que so, juntando mais gente agora eu vou” (and I am a pilgrim I am, with all my companions I go, And I am a pilgrim I am, and gathering people we grow). Dari 40 negara dengan jumlah peserta kurang lebih 2.000 orang, kami berkumpul. Esperam por nos nacoes itulah tema yang dibuat oleh Jesuitas Brasil tahun ini yang artinya Nations Awaits Us. Pesan pater provincial Brasil dalam buku Pilgrim Magis “We’re not tourists, we’re pilgrims” itu menjadi pedoman bagi Magis, artinya kita bukan menjadi turis disana tapi menjadi seorang peziarah. Kita sebagai kaum muda yang energik adalah masa depan Gereja, harus terus menyebarkan kasih Allah tanpa batas sehingga akhirnya semua dunia merasakan kasih Allah.
Misa Pembukaan yang diadakan pada esok pagi memberikan semangat kepada kami untuk semakin menemukan Tuhan dalam segala hal. Renungan pagi itu menekankan bahwa semangat Ignasian itu harus terus dikembangkan dan dan diperluas sampai dalam segala hal mencintai dan melayani (en todo amar y servir). Acara selanjutnya adalah City Tour bersama panitia Magis. Tempat – tempat yang kami kunjungi adalah Katedral Salvador, Mosteiro de Sao Bento, Praca Castro Alves, dan bangunan-bangunan di kota ini yang sangat memukau. Di akhir city tour kami mengadakan Flash Mob bersama teman-teman Magis di Pelourinho, Salvador dengan lagu “We are full of wonder”. Semangat orang-orang muda menyatu dalam gerak dan lagu tersebut. Pada malam harinya khususnya pada event Nations Festival, delegasi Indonesia menampilkan Tari Renggong Manis. Sekitar 20 negara menampilkan kebudayaannya malam itu. Ada tarian Gangnam Style dari teman-teman Taiwan, dansa cantik khas Amerika Latin dari teman-teman Paraguay, Argentina, dsb. Waktu yang terasa amat menyenangkan di Salvador adalah bisa merasakan kemeriahan, keindahan, dan kenyamanan bersama seluruh Magis.
Tanggal 14 Juli kami berangkat menuju Sao Paulo untuk melakukan eksperimen dan tiba pada keesokan harinya di Colegio Sao Fransisco Xavier, yang juga merupakan salah satu sekolah Jesuit di Brasil. Peregrinasi kali ini yaitu melakukan perjalanan selama 5 hari dengan total sekitar 118 km dari Peruibe menuju Sao Bernardo de Campo.
You’ll Never Walk Alone
Peregrinasi dimulai dari Sao Paulo yaitu dengan kegiatan berkeliling daerah di sana sembari berkenalan dengan teman-teman seperjalanan selama seminggu ke depan. Pada awal sesi kami berkenalan dengan menuliskan tentang diri lewat bahasa masing-masing, dimasukkan ke dalam balon kemudian diletuskan dan kita harus mengambil punya teman lain. Saya mengambil punya Maria dari Chile, dan kertas saya diambil oleh Stan dari France. Lucunya dalam kelompok ini kami selalu berbicara dan diterjemahkan dalam 3 bahasa. Koordinator berbicara Portugis, diterjemahkan ke Inggris, Spanyol, dan Prancis dikarenakan beberapa teman Chile dan Prancis ada yang tidak berbahasa Inggris. Lucu tapi seru! Sorenya kami berkeliling ke central Sao Paulo, melihat Katedral, Patung Anchieta (seorang Jesuit penemu kota Sao Paulo), melihat Tribunal Justice of Sao Paulo dan gereja-gereja di sekitarnya.
Hari kedua kami berjalan di Peruibe menyusuri pantai. Kami mulai saling berkenalan selama perjalanan. Dari Brazil ada Renato, Gabriel, Erik, Marcio, Homero, dan Anna. Erik, Marcio dan Renato adalah guru sekolah Jesuit yang kami tempati tadi yaitu Sao Fransisco Xavier. Dari Chile ada Cony, Jorge, Ivan, Isabel, Maria, Ricardo. Dari Prancis ada frater diosesan Mike, Stan, Judit, Louic, Louis Vianney, Noemi, Crotylde, dan Sandrine. Sesudah seharian berjalan kurang lebih 25 km, kami sampai di Itanhaem. Kami bermalam di sebuah gereja sederhana namun sangat nyaman bernama kalau tidak salah ingat Mary the Conception.
Perjalanan selanjutnya kami tiba di Mongagua. Berbeda dengan hari pertama yang terasa begitu menyenangkan, sepanjang perjalanan hari itu matahari sangat panas (sekalipun anginnya dingin), rasa lapar sedikit menurunkan mood. Menyikapi kondisi itu, saya berusaha mengeluarkan energi positif dalam pikiran sehari-hari. Banyak hal yang saya peroleh sepanjang perjalanan ini dan sungguh berkesan melalui berbagi cerita dan doa rosario bersama kelompok peregrinasi ini. Setibanya di paroki Mongagua pada malam harinya, kami disambut dengan meriah oleh orang-orang paroki dengan berbagai aktivitas diantaranya menari, bernyanyi, main bola, dan hal-hal lain yang menyenangkan.
Di hari berikutnya (hari ketiga), dengan matahari yang bersinar terik kami masih menyusuri pantai di sekitar Mongagua. Semakin hari kami semakin mengenal satu sama lain dan juga dipenuhi dengan berbagi cerita dari teman-teman. Stan dan Judit teman Prancis yang menurut saya paling friendly dan terbuka. Malam pertama saat masih di Itanhaem dalam magis circle (sharing bersama dalam lingkaran), saya bercerita tentang “tidak ada yang kebetulan” jadi saya percaya mereka ini dikirim Tuhan pada saya untuk belajar dari mereka, untuk mengalami pengalaman iman bersama mereka. Beberapa orang yang sebelumnya belum pernah mengobrol pun akhirnya kami mengobrol juga. Menyenangkan sekali, yang penting tebarkan terus keramahan dan kebaikan hati kita.
Tujuan kami hari itu ialah Sao Vicente. Kota yang indah, dikelilingi pantai (kami menyebutnya seperti pantai Miami hehe…). Di dekat pantai terdapat fountain atau mata air tempat Santo Anchieta pernah melakukan perjalanan ke sini. Selain itu, terdapat juga tugu pembebasan Brazil dari Portugis di pinggir pantai. Menjelang malam, kami menginap di sekolahan Sao Gabriel, sore harinya kami main di pantai, datang ke pesta makanan tradisional, dan malamnya misa di paroki Sao Vicente.
Rute selanjutnya adalah Santos. Kami berjalan kembali dan sangat menikmati proses ini. Ngobrol dengan teman-teman, belajar dari pengalaman hidup masing-masing orang yang berbeda dengan kita tentunya menjadi pelajaran berharga bagi saya. Banyak hal baru saya peroleh di sini misalnya sejarah bangunan – bangunan di Santos, berkunjung ke Museum Kopi (Museau da Cafe) dan menonton konser Rexband dari India.
Rute awal hari berikutnya ialah menuju Sao Bernardo do Campo tetapi dikarenakan cuaca buruk sehingga perjalanan hari itu (dimana seharusnya kami naik gunung) dibatalkan. Ada rasa sedih karena saya rindu akan naik gunung, saya bukan tipe orang yang sering naik gunung seperti teman-teman yang lain, makanya disaat ada kesempatan saya ingin sekali. Namun saya ambil positifnya saja, saat itupun kaki saya sudah kapalan karena sepatu yang saya kenakan kurang nyaman sehingga mungkin ini jalan yang terbaik dariNya. Keesokan harinya kami berpisah dengan beberapa koordinator (Gabriel, Erik, dan Marcio) karena mereka tidak ikut kami di Rio Janeiro. Sedih rasanya berpisah dengan roang-orang baik ini, tetapi ada pertemuan ada perpisahan bukan. Seperti itulah hidup kita berjalan.
Kami kembali sekolah Sao Fransisco Xavier, bertemu dengan kelompok-kelompok eksperimen lain. Malam harinya diadakan misa kemudian dilanjutkan dengan barbeque, kembali berkumpul dengan teman-teman peregrinasi. Kami berangkat ke Rio de Janeiro jam 10 malam waktu setempat.
Go and Make All Nations Disciples
Kami tiba di Rio Janeiro jam 5.30 dan menginap di Colegio Santo Inacio, Botafogo. Letaknya sangat dekat dengan Cristo Redentor/Christ the Reedemer, keajaiban dunia khas Rio Janeiro ini. Udara sangat dingin. Kami berdoa lalu berfoto dan saat itu kabut sangat tebal sehingga patung Kristus sering tertutup kabut. Bila kabut hilang, maka orang di sana bertepuk tangan dan kembali mengambil foto. Saya mengikuti katekese di paroki Pidade yang bercerita tentang harapan, bahwasanya jangan pernah berhenti berharap karena kalau kita menggantungkan harapan kita akan Kristus pasti Ia akan memeluknya dan memberi jalan pada kita.
Selanjutnya, kami hadir dalam misa pembukaan dengan Uskup Rio de Janeiro. Di Copacabana, Way of Cross dengan Paus dan beberapa acara dan perjalanan selama JMJ yang penuh suka dan tawa. Dan terakhir momen puncak ditutup dengan Vigil Night di Praia Copacabana dengan Paus Fransiskus. Pesan Paus saat misa penutupan hari Minggu itu bahwa anak muda adalah masa depan gereja, teruslah bawa dan sebarkan Injil kemanapun pergi. Go, serve, and do not be afraid because nations awaits us. Build a new world, break the barrier, go and make all nations disciples.
Sampai tiba hari Senin, saatnya kami harus berpisah dengan semua orang yang kami jumpai di Magis dan WYD. Sedih rasanya meninggalkan negeri yang indah ini. Rangkaian kegiatan Magis-World Youth Day usai sudah. Terlalu singkat? Tidak juga. Lega dan bersyukur pada Tuhan bisa punya pengalaman yang indah terlebih saat peregrinasi.
Saya merasa ini seperti sebuah ilusi tapi dalam proses inilah saya merasa ini bukan imajinasi belaka tapi ini nyata dan Tuhan lah yang menghidupkan semuanya ini sehingga rasanya begitu indah. Kehangatan dari para Jesuit yang mengayomi dan memperhatikan kami, teman-teman yang begitu unik dan baik hati sampai ingin menangis saat melihat teman dari Chile yang menangis saat kita pulang, dan Father Michael yang memberi pesan pada saya untuk terus pantang menyerah dalam hidup. Semoga suatu saat nanti kami dapat dipertemukan kembali dalam pengalaman menemukan Tuhan lebih dalam lagi. Pertemuan dengan mereka begitu indah dan menjadi salah satu memori yang tidak akan saya lupakan.
Someone who goes on a pilgrimage “prays with his feet” and experiences with all sense that his entire life is one long journey to God (YOUCAT).
oleh
Maria Anindita Nareswari
Magis Jakarta